Home

Senin, 18 Januari 2016

Berkaca Ghirah Pada Buya Hamka

Di copas dari Dr. Agus Setiawan :

Mungkin banyak yang sudah melupakan buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al-Azhar, namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi. Sesuai dengan judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini.

Buya Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapida pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh dengan kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarkan saudara perempuannya berbuat hina dengan orang.

Dalam sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak kalah tingginya dalam menebus kehormatan. Menurut Hamka, bangsa-bangsa barat sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-berkali dikejutkan dengan ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh apabila kehormatannya disinggung. Demikian pula dengan orang Madura, jika dipenjara karena membela kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya, dibelikan pakaian baru, dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan baik.

Di masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda biasa tidur di surau untuk menjaga agar anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada batas-batas tegas yang tidak boleh dilanggar. Kalau ada minat, boleh disampaikan langsung kepada orangtua.

Pada zaman Rasulullah SAW. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa'. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuannya, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin awalnya dianggap sebagai candaan saja dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah SAW. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa' sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai "Kecemburuan".

Sesungguhnya ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' menjawab jerit tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan.

Ghirah adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat ini, sehingga perlahan-lahan diikutinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya.

"Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta."

Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburannya. (Buya Hamka)

"Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?" ~ Ibnu Qayyim al-Jauziyah ~

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar